Makalah Ilmu Al-jarh & Ta'dil :
Makalah Ilmu Al-jarh & Ta'dil |
Makalah Ilmu Al-jarh & Ta'dil :
BAB II
Pemabahasan
I.
Pengertian
al-Jarwah wa at-Ta’dil
Al-Jarwa
wa Ta’dil terdiri dari dua kata yakni al-jarh dan ta’dil. Al-jarh secara lughah
atau bahasa artinya melakui badan sehingga mengalirlah darah. Apabila dikatakan
hakim menjarahkan saksi berarti hakim menolak kesaksian saksi. Menurut istilah
para ahli hadis ialah nampaknya suatu sifat para perawi yang merusakkan
keadillannya atau mencedrakan hafalannya, karenanya gugurlah riwayatnya dan di
pandang lemah.
Ta’dil
menurut lughah atau bahasa bermakna taswiyah ( menyamakan ). Sedangkan menurut
istilah ialah mensifatkan perawi dengan sifat-sifat yang membersihkannya dari
pada kesalahan – kesalahan, lalu nampaklah keadilannya dan diterimalah
riwayatnya. Menurut ‘uruf ahli hadisialah mengakui keadilan seseorang,
kedhabitannya dan kepercayaannya. Jadi, ilmu Al-jarhi wa Ta’dil ialah ilmu yang
membahas keadaan keadaan perawi dari segi diterima atau di tolak riwayatnya.
Ilmu
Jarh wa Ta’dil yang di kenal juga dengan istilah ilmu Mizan al-rijal dalam
literatul barat sering disebut dengan istilah Diparaging and Declaring
Trustworty, yang mengandung pengertian “ ilmu yang membahas tentang perawi,
baik yang dapat mencacatkan ( menodai ) ataupun yang membersihkan mereka dengan
ungkapan lafadz lafadz tertentu.
Ilmu
ini salah satu ilmu terpenting dan tinggi nilainya karena dengan ilmu ini dapat
membedakan antara yang sahih (sehat) dengan yang saqim antara yang di terima
dan di tolak, mengingat timbulnya hukum – hukum yang berbeda – beda dari
tingkatan al-Jarh dan Ta’dil ini.
II.
Perkembangan
ilmu al-Jarh wa Ta’dil
Awal
mula pertumbuhan ilmu ini adalah seperti yang dinikilkan nabi shalallahu alaihi
wa sallam sebagaimana telah di sebutkan tadi. Lalu menjadi banyak dari pada
sahabat, tabi’in dan orang setelah mereka, karena takut terjadi apa yang di
peringatkan rasulullah, sebagaimana sabdanya,
“ akan ada pada umatku yang
terakhir nanti orang – orang yang menceritakan hadist kepada kalian apa yang
belum pernah kalian dan juga bapak – bapak kalian mendengar sebelumnya. Maka
waspadalah terhadap mereka “ ( muqaddimah shahih muslim ).
Ilmu
ini akan tumbuh bersama – sama dengan tumbuhnya perawi dalam islam, karena
untuk mengetahui hadist – hadist shahih perlu mengetahui keadaan perawi –
perawinya, secara memungkinkan ahli-ilmu menetapkan kebenaran perawi, atau
kedustaannya hingga dapatlah mereka membedakan antara yang diterima dan dengan
yang di tolak.
Karena
itu para ulama menanyakan tentang keadaan para perawi, meneliti kehidupan
ilmiah mereka, mengetahui segala keadaan mereka, hingga mengetahui siapa yang
lebih hafal, lebih kuat ingatannya, dan lebih lama menyertai gurunya.
Demikianlah ilmu ini tumbuh dan berkembang bersama – sama dengan tumbuhnya
periwayatan dalam islam
III.
Tinkatan
– tingkatan al-Jarh wa Ta’dil
Para
perawi yang meriwayatkan bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi
keadilan, kedhabitan dan hafalan mereka sebagaimana yang telah di jelaskan
sebelumnya. Di antara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang
dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula orang yang sering lupa dan salah
padahal mereka adalaha orang yang ‘adil dan amanah, serta ada juga yang
berdusta dalam hadist, maka allah menyingkap perbuatannya ini melalui tangan
ulamayang sempurna pengetahuan mereka. Oleh karena itu para ulama meningkatkan
tingkatan jarh dan ta’dil, dan lafazh lafahz yang menunjukkan pada setiap
tingkatan, sehingga tingkatan ta’dil ada enam tingkatan dan tingkatan jarh ada
enam tingkatan juga.
a. Tingkatan tingkatan at-Ta’dil
Tingkatan
pertama yang menggunakan superlatif dalam penta’dilan, atau dengan menggunakan
wazan “af-fala”, seperti : “ fulan kepadanyalah puncak ketepatan dalam
periwayatan”,atau,” fulan orang yang paling tepat periwayatannya dan
ucapannya”.
Tingkat kedua : dengan
menyebutkan sifat menguatkanketsiqahannya, ke’adilan dan ketepatan
periwayatannya, baik dengan lafazh maupun dengan makna seperti : “tsiqah –
tsiqah” , “ tsiqah – tsabat “, atau “ tsiqah dan hafish”.
Tingkat ketiga : yang
menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya penguatan akan hal itu, seperti :
tsiqah, tsabt, hujjah, mutqin.
Tingkat keempat : yang
menunjukkan adanya keadilan dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan kekuatan
hafalan dan ketelitian, seperti : shadug (jujur), ma’mun ( di pecaya), mahallum
ash-shidiq ( ia tempatnya kejujuran ).
Tingkat kelima : yang tidak
adanya pentsiqahan ataupun celaan, seperti : “ fulan syaikh “ ( fulan seorang
syaikh ), “ ruwiya ‘anhu al-hadist “ ( orang yang meriwayatkan hadist darinya
).
Tingkatan keenam : isyarat yang
mendekati pada celaan (jarh), seperti : shahih al-hadist ( hadistnya lumayan ),
atau “yaktabu haditsuhu “ ( di tulis hadistnya ).
Hukum Tingkatan – Tingkatan I ni.
a. Untuk
tiga tingkatan, dapat dijadikan hujjah, meskipun mereka lebih kuat dari
sebagian yang lain.
b. Adapun
tingkatan keempat dan kelima tidak bisa di jadikan hujjah, tatapi hadist mereka
boleh di tulis, dan di uji kedhabitan mereka dengan membandingkan hadist mereka
dengan hadist – hadist para tsiqah yang dabith. Jika sesuai dengan hadist
mereka maka bisa dijadikan hujjah. Jika tidak sesuai maka di tolak, meskipun
dia dari tingkatan kelima yang lebih rendah ari tingkatan keempat.
c. Sedangkan
tingkatan keenam, tidak bisa di jadikan hujjah, tetapi hadist mereka di tulis
untuk di jadikan pertimbangan saja bukan untuk pengujian, karena mereka tidak
dhabit.
Tingkatan – tingkatan al-jarh
Tingkatan pertama : yang
menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan
al-jarh (kritikan), seperti : ( lemah hadistnya ), atau fiihi maqaal ( dirinya
dibicarakan).
Tingkatan kedua : yang
menunjukkan adanya kelemahan terhadapat perawi dan tidak boleh di jadikan
sebagai hujjah, seperti : “ fu;an tidak boleh di jadikan sebagai hujjah “,
dhaif “ ia mempunyai hadist – hadist yang mungkar.
Tingkatan ketiga : yang
menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh di tulis hadistnya, seperti : fulan
dha’if jiddan (dhaif sekali), atau wahin marrah (sangat lemah).
Tingkatan keempat : yang
menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsuan hadist, seperti : fullan muttaham bil
kadzib (dituduh berdusta), atau “laisa bi tsiqah” ( bukan orang yang
terpercaya).
Tingkatan kelima : yang
menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini adalah seburuk busurknya
tingkatan, seperti “ fulan orang yang paling pembohong” atau “ ia adalah puncak
dari kedustaan”.
Hukum tingkatan tingkatan ini.
a. Untuk
dua tingkatan pertama tidak bisa di jadikan hujjah, terhadap hadist mereka,
akan tetapi boleh di tulis untuk di perhatikan saja, da walaupun orang pada
tingkatan kkedua lebih rendah dari pada tingkatan pertama.
b. Sedangkan
empat tingkatan terakhir tidak boleh di jadikan hujjah, tidak boleh ditulis,
dan tidak boleh di anggap sama sekali.
Orang orang
paling mahsyur berbicara mengenai perawi
Ketika muncul berserakan
pemalsuan hadist, para ulama muncul untuk memeranginya, mereka memperhatikan
para perawi dan mengenali mereka. Dan sejmlah tabi’in juga berbicara mengenai
jarh dan ta’dil, di antara mereka yang paling terkenal pada generasi muda ialah
:
1. Sa’id
bin jubair ( wafat tahun 95 H)
2. Sa’id
bin AL-musayyib (wafat tahun 94 H)
3. Amir
asy-sya’bi ( wafat tahun 103 H)
4. Muhammad
bin sirin (wafat tahun 110 H)
IV.
Urgensi
ilmu al-Jarh wa Ta’dil
Para ulama
menganjurkan jarh wa ta’dil, dan tidak menganggap sebagai perbuatan ghibah yang
terlarang, oleh karena itu, para ulama membolehkan jarh wa ta’dil untuk menjaga
syariat agama ini, bukan untuk mecela manusia. Dan sebagaimana di bolehkan jarh
pada persaksian, maka pada perawi pun di perbolehkan, bahkan dalam memperteguh
dan mencari kebenaran dalam masalah agama lebih utama dalam masalah hak dan
harta.
Faedah ilmu
ini untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau
harus di tolak sama sekali. Apabila seorang rawi di jarh oleh para ahli sebagai
rawi yang cacat, maka perawinya harus di tolak, dan apabila seorang perawi
orang yang adil, niscaya periwayatannya di terima, selama syarat syarat lain
menerima hadist di penuhi.
V.
Cara
mengetahui kecacatan dan keadilan perawi
Keadilan
perawi itu dapat di ketahui dengan dua cara sebagai berikut :
Pertama,
dengan kepopulerannya di kalangan para ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai
orang yang adil
Kedua, dengan
pujian seorang yang adil. Yaitu ditetapkan sebagai rawi orang yang adil oleh
orang yang adli, yang semua yang di ta’dilkan itu belum di kenal sebagai rawi
yang adil.
Penetapan
tentang kecacatan seorang rawi juga dapat di tentukan melalui dua jalan :
1.
Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang
rawi dalam keabsahannya
2.
Nerdasarkan pentajrihannya dari seorang yang
adil yang telah mengetahui sebab – sebabnya dia cacat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ilmu
Jarh wa Ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang ilmu
yang membahas tentang perawi, baik yang dapat mencacatkan ( menodai ) ataupun
yang membersihkan mereka dengan ungkapan lafadz lafadz tertentu.
2. Tingkatan
Jarh wa Ta’dil terbagi menjadi 2 yaitu Tingkatan at-Ta’dil dan Tingkatan
al-Jarh
3. Mengetahui
kecacatan seorang rawi dapat di tentukan melalui 2 jalan yaitu :
a. Berdasarkan
berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaobannya
b. Berdasarkan
pentajrihannya dari seorang yang adiol yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia
cacat
B. Saran.
Demikian
makalah ini, semoga apa yang kami rangkai bisa memberi manfaat. Kritik dan
saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan pada penulisan
makalah selanjutnya. Wallahuu A’lam bi al-showaab
Terimakasih telah membaca Makalah Ilmu Al-jarh & Ta'dil semoga bermanfaat.
keywords: Makalah Ilmu Al-jarh & Ta'dil, Ilmu Al-jarh & Ta'dil, Al-jarh & Ta'dil, Studi Islam Asia Tenggara
Makasih nie materinya Gan
ReplyDeleteakhirnya ketemu juga...
ReplyDeletemakasih pelajarannya gan... sangat bermanfaat sekali bagi ane... :)
ReplyDeletethanks sharing makalahny...
ReplyDelete