Klasifikasi Hadits dari Segi Banyak Perawinya

Klasifikasi Hadits dari Segi Banyak Perawinya :

Klasifikasi Hadits dari Segi Banyak Perawinya
Klasifikasi Hadits dari Segi Banyak Perawinya

Klasifikasi Hadits dari Segi Banyak Perawinya :




BAB I
Pendahuluan
1.    Latar Belakang
Hadits dapat ditinjau dari segi jumlah perawinya (kuantitasnya), semakin banyak orang yang meriwayatkan suatu hadits maka semakin valid hadits tersebut dari segi kuantitas. Kuantitas perawinya mulai dari sahabat, tabi’in sampai kepada perawi yang meriwayatkan suatu hadits dalam jumlah yang seimbang pada setiap tingkatan (thabaqat). Dengan jumlah yang banyak dan seimbang tersebut, maka mustahil mereka menurut kebiasaan akan berbohong.
Hadits-hadits yang mutawattir yang tergolong hadits yang maqbul dan wajib diterima dan diamalkan, sedangkan hadits masyhur atau hadits Ahad, maka ia bisa saja berstatus shahih, hasan, ataupun dhaif, tergantung kualitas masing-masing hadits tersebut. Adapun makalah ini terbatas hanya membahas hadits dari segi kuantitas perawinya, tidak membahas hadits secara kualitas.
2.    Rumusan Masalah
Sebagai kerangka untuk pengembangan dalam pembahasan permasalahan yang akan dibahas, maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Hadits Mutawatir
2.      Hadits Ahad.

1.    Tujuan Penulisan
Agar kita mengetahui klasifikasi hadits berdasarkan segi banyak jumlah perawinya,  dan agar dapat membedakannya.



BAB II
PEMBAHASAN
Pada Awalnya rasulullah SAW melarang sahabat untuk menulis hadis, karena dikhawatirkan bercampur baur penulisannya dengan Al-Qur’an. Perintah untuk melukiskan hadis yang pertama kali oleh khalifah Umar bin Abdul Azis. Beliau penulis surat kepada gubernur di Madinah yaitu Abu Bakar bin Muhammad bin Amr hazm Al-Alsory untuk membukukan hadis. Sedangkan ulama yang pertama kali mengumpulkan hadis adalah Arroby bin Sobiy dan Said bin Abi Arobah, akan tetapi pengumpulan hadis tersebut masih acak (tercampur antara yang sohih dengan dhoif, dan perkataan para sahabat).
Sebagian bingung dalam pembagian hadits yang terlalu banyak, akhirnya kebingunagn itu menjadi karena pembagian hadits di tinjau dari beberapa pandangan tidak hanya ditinjau dari satu pandangan saja. Yaitu dari segi kuantitas dari segi banyak perawinya.
Kuantitas hadis disini yaitu dari segi jumlah orang yang meriwayatkan suatu hadis atau dari segi jumlah sanadnya. Jumhur (mayoritas) ulama membagi hadis secara garis besar menjadi dua macam, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad , disamping pembagian lain yang diikuti oleh sebagian para ulama, yaitu pembagian menjadi tiga macam yaitu: hadis mutawatir , hadis masyhur (hadis mustafidh) dan hadis ahad.

1.    Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad
1.1 Pengertian Hadits Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi yakni yang datang berikutnya atau beriring-iringan yang antara satu dengan yang lain tidak ada jaraknya.
Sedangkan pengertian hadits mutawatir menurut istilah, terdapat beberapa definisi, antara lain sebagai berikut:
مَارَوَاهُ جَمْعٌ عَنْ جَمْعٍ تُحِيْلُ اْلعَادَةُ تَوَا طُؤُهُمْ عَلَى اْلكَذِبِ
“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta”.
Ada juga yang mengatakan:

مَارَوَاهُ جَمْعٌ تُحِيْلُ اْلعَادَةُ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى اْلكَذِبِ عَنْ مِثْلِهِمْ مِنْ أَوَّلِ السَّنَدِ إِلَى مُنْتَهَاهُ

1.2 Syarat Hadits Mutawatir
1. Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
Para perawi hadis mutawatir syaratnya harus berjumlah banyak. Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah banyak pada para perawi hadis tersebut dan tidak ada pembatasan yang tetap. Di antara mereka berpendapat 4 orang, 5 orang, 10 orang, 40 orang, 70 orang bahkan ada yang berpendapat 300 orang lebih. Namun, pendapat yang terpilih minimal 10 orang seperti pendapat Al-Ishthikhari
2. Adanya Jumlah Banyak Pada Seluruh Tingkatan Sanad
Jumlah banyak orang pada setiap tingkatan (thabaqat) sanad dari awal sampai akhir sanad. Jika jumlah banyak tersebut hanya pada sebagian sanad saja maka tidak dinamakan mutawatir , tatapi dinamakan ahad atau wahid. atau adanya keseimbangan antar perawi pada thabaqat pertama dengan thabaqat berikutnya. Jumlah perawi hadits mutawatir, antara thabaqat (lapisan/ tingkatan) dengan thabaqat lainnya harus seimbang.
Dengan demikian, bila suatu hadits diriwayatkan oleh dua puluh orang sahabat, kemudian diterima oleh sepuluh tabi’in, dan selanjutnya hanya diterima oleh lima tabi’in, tidak dapat digolongkan sebagai hadits mutawatir, sebab jumlah perawinya tidak seimbang antara thabaqat pertama dengan thabaqat-thabaqat seterusnya
3. Mustahil Bersepakat Bohong
Di antara alasan pengingkar sunnah dalam penolakan mutawatir adalah pencapaian jumlah banyak tidak menjamin dihukumi mutawatir karena dimungkinkan adanya kesepakatan berbohong. Hal ini karena mereka menganalogikan dengan realita dunia modern dan kejujurannya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, apalagi jika ditunggangi masalah politik dan lain-lain. Demikian halnya belum dikatakan mutawatir karena sekalipun sudah mencapai jumlah banyak tetapi masih memungkinkan untuk berkosensus berbohong.
4. Sandaran Berita Itu Pada Pancaindra
Maksud sandaran pancaindra adalah berita itu didengar dengan telinga atau dilihat dengan mata dan disentuh dengan kulit, tidak disandarkan pada logika atau akal seperti tentang sifat barunya alam, berdasarkan kaedah logika; Setiap yang baru itu berubah (Kullu hadis in mutghayyirun). Alam berubah (al-alamu mutaghayyirun). Jika demikian, Alam adalah baru (al-alamu hadis un). Baru artinya sesuatu yang diciptakan bukan wujud dengan sendirinya. Jika berita hadis itu logis, maka tidak mutawatir . Sandaran berita pada pancaindra misalnya ungkapan periwayatan.


1.3 Pembagian Hadits Mutawatir
Hadits Mutawatir terbagi kepada dua, yaitu : Mutawatir Lafzhi dan Mutawatir Ma'nawi. Sementara itu sebagian ulama lain membagi hadits mutawatir menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Mutawatir Lafzhi
Yang dimaksud dengan hadits Mutawatir Lafzhi adalah garis besar serta perincian maknanya tentu sama pula, juga dipandang sebagai hadis mutawatir lafdhi, hadis mutawatir dengan susunan sedikit berbeda, karena sebagian digunakan kata-kata muradifnya (kata-kata yang berbeda tetapi jelas sama makna atau maksudnya). Sehingga garis besar dan perincian makna hadis itu tetap sama.
jika dilihat dari segi kuantitasnya, maka jumlah hadis tipe ini sangat sedikit sekali. Bahkan menurut Ibn al-Salih yang diikuti oleh al-Nawawi, bahwa hadis mutawatir lafzhi sukar di kemukakan contohnya selain hadis tentang ancaman Rasulullah terhadap orang yang mendustakan sabdanya dengan ancaman neraka. Hadis tersebut adalah :
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

"Barang siapa yang berbuat dusta terhadapku dengan sengaja, maka berarti ia menyediakan tempatnya di neraka. (Hadis Riwayat Bukhari)
Menurut Abu Bakar Al-Sairi, bahwa hadis ini diriwayatkan secara ma’ruf oleh enam puluh sahabat. Menurut Ibnu Al-Shalah, hadis ini diriwayatkan oleh enam puluh sahabat, termasuk sepuluh sahabat yang telah diakui akan masuk surga. Menurut mereka, tidak diketahui hadis lain yang didalam perawinya terkumpul sepuluh sahabat yang didiakui masuk surga, kecuali hadis ini. menurut sebagian yang lain menyatakan, hadits ini diriwayatkan oleh hampir dua ratus sahabat. Ibrahim Al-Harabi dan Abu Bakar Al-Bazari mengatakan, hadits ini diriwayatkan oleh empat puluh sahabat. Abu Al-Qasim ibn Manduh berpendapat bahwa hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari delapan puluh orang. Ada juga yang menyatakan, diriwayatkan oleh seratus sahabaContoh lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Al-Tirmidzi.
قَالَ يَامُحَمَّدُ إِنَّ اْلقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ
“Al-Qur'an diturunkan atas tujuh huruf (tujuh macam bacaan)”. Hadits ini diriwayatkan oleh dua puluh tujuh sahabat.


2. Hadits Mutawatir Maknawi
Hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir dengan makna umum yang sama, walaupun berbeda redaksinya dan berbeda perincian maknanya. Dengan kata lain, hadis-hadis yang banyak itu. berbeda redaksi dan perincian maknanya, menyatu kepada makna umum yang sama.
Jumlah hadis-hadis yang termasuk hadis mutawatir maknawi jauh lebih banyak dari hadis-hadis yang termasuk hadis mutawatir lafdhi. Contoh hadits mutawatir ma’nawi, antara lain adalah hadits yang meriwayatkan bahwa Nabi SAW. mengangkat tangannya ketika berdoa.
قَالَ أَبُوْ مُوْسَى اْلأَشْعَرِيْ دَعَا النَّبِيُّ ص م: ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ وَرَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ. (رواه البخارى)

“Abu Musa Al-Asy’ari berkata: Nabi SAW. berdoa kemudian dia mengangkat kedua tangannya dan aku melihat putih-putih kedua ketiaknya”.
Hadits semacam ini diriwyatkan dari Nabi SAW. berjumlah sekitar seratus hadits dengan redaksi yang berbeda-beda, tetapi mempunyai titik persamaan, yakni keadaan Nabi SAW mengangkat tangan saat berdoa
Contoh lain adalah Hadis tentang mengusap sepatu (al-mash 'ala al-khuffain), yang diriwayatkan secara bervariasi lafaznya oleh sekitar 70 orang.
3. Hadits Mutawatir ‘Amali
Adapun yang dimaksud dengan hadits mutawatir amali adalah: “Sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk urusan agama dan telah mutawatir antara umat Islam, bahwa nabi SAW mengerjakannya, menyuruhnya, atau selain dari itu. Dan pengertian ini sesuai dengan ta’rif ijma.”
Contoh : Hadis-hadis Nabi tentang waktu shalat, tentang jumlah rakaat shalat wajib, adanya shalat Id, adanya shalat jenazah, dan sebagainya.
Contoh Hadits mutawatir amali yaitu hadits tentang sholat:
صَلُّوْاكَمَارَأَيْتُمُوْنِى أُصَلِّى (رواه البخارى ومسلم)
Artinya: Sholatlah kamu seperti kalian melihat aku shalat (HR. Bukhari Muslim)

Segala macam amal ibadah yang dipraktekkan secara sama oleh umat Islam atau disepakati oleh para ulama, termasuk dalam kelompok hadis mutawatir ‘amali. Seperti hadis mutawatir maknawi, jumlah hadis mutawatir ‘amali cukup banyak. Diantaranya, shalat janazah, shalat ID, pelaksanaan haji dan kadar zakat harta dan lain-lain.


2. Hadits Ahad
1.2 Pengertian Hadits Ahad
Kata ahad berarti “Satu” Khabar al-wahid adalah kabar yang diriwayatkan oleh satu orang.
Menurut istilah ilmu hadits, hadits ahad berarti
هُوَ مَالَمْ يَجْمَعْ شُرُوْطَ الْمُتَوَا تِرِ.
“Hadits yang tidak memenuhi syarat mutawatir”.
Ajjaj Al-Khathib, yang membagi hadits berdasarkan jumlah perawinya kepada tiga, yaitu mutawatir masyhur, dan ahad, mengemukakan definisi hadits ahad sebagai berikut:
هُوَمَارَوَاهُ اْلوَاحِدُأَوِاْلإِ ثْنَانِ فَأَكْثَرْمِمَّالَمْ تَتَوَفَّوْفِيْهِ شُرُوْطُ الْمَشْهُوْرِ أَوِ الْمُتَوَاتِرِ.
“Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang perawi, dua atau lebih, selama tidak memenuhi syarat-syarat hadits masyur atau hadits mutawatir”.
Sedangkan yang dimaksud dengan hadits ahad menurut istilah, banyak didefinisikan para ulama, antara lain sebagai berikut:
Khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai batasan jumlah perawi hadits mutawatir, baik perawi itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir”.
Ada juga ulama yang mendefinisikan hadits ahad secara singkat, yakni hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir, hadits selain hadits mutawatir, atau hadits yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian zhanni dan tidak sampai kepada qath’I dan yaqin.
Jumhur ulama sepakat bahwa beramal dengan hadits ahad yang telah memenuhi ketentuan maqbul hukumnya wajib. Abu Hanifah, Imam Al-Syafi’I dan Imam Ahmad memakai hadits ahad bila syarat-syarat periwayatan yang sahih sepenuhnya. Hanya saja Abu Hanifah menetapkan syarat tsiqqah dan adil bagi perawinya serta amaliahnya tidak menyalahi hadits yang diriwayatkan.
Hadis yang menerangkan proses pencucian sesuatu yang terkena jilatan anjing dengan tujuh kali basuhan yang salah satunya harus dicampur dengan debu yang suci tidak digunakan, sebab perawinya yakni Abu Hurairah, tidak mengamalkannya. Sedang Imam Malik menetapkan persyaratan bahwa perawi hadis ahad tidak menyalahi amalan ahli Madinah.
Sedangkan golongan Qadariyah, Rafidhah dan sebagian ahli Zhahir menetapkan bahwa beramal dengan dasar hadis ahad hukumnya tidak wajib. Al-Juba’i dari golongan Mu’tazilah menetapkan tidak wajib beramal kecuali berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh dua orang yang diterima dari dua orang.
Sementara yang lain mengatakan tidak wajib beramala kecuali hadis yang diriwayatkan oleh empat orang dan diriwaayatkan oleh empat orang pula.
Untuk menjawab golongan yang tidak memaki hadis ahad sebagai dasar beramal, Ibnu Al-Qayim mengatakan:” Ada tiga segi keterkaitan sunnah dengan Al-Qur’an.
1. kesesuaian terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an;
2. menjelaskan maksud Al-Qur’an,
3. menetapkan hukum yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Alternatif ketiga ini merupakan ketentuan yang ditetapkan oleh Rasul yang wajib ditaati. Lebih dari itu ada yang menetapkan bahwa dasar beramal dengan hadis ahad adalah Al-Qur’an, Sunnah dan ijma.
Karena hadist ahad itu tidak pasti (hgairu qath’i atau ghairu maqthu’), tetapi diduga (zhanni atau mazhnun) berasal dari Rasulullah SAW, maka kedudukan hadist ahad , sebagai sumber ajaran Islam, berada dibawah kedudukan hadist mutawatir . Lain berarti bahwa bila suatu hadist, yang termasuk kelompok hadist ahad, bertentangan isinya dengan hadist mutawatir , maka hadist tersebut harus ditolak.
1.2 Syarat Hadits Ahad
Menurut para ulama ahli hadits syarat dari hadits ahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir seperti yang telah dituliskan diatas syarat dari hadits mutawatir, bila suatu hadits tidak memenuhi syarat rawi mutawatir maka hadits itu termasuk dalam kelompok hadits ahad

                                            
1.3 Pembagian Hadits Ahad
Pembagian hadits ahad ada 3 yaitu :
1. Hadis Masyhur (hadits mustafid):
Masyhur menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah populer. Mustafid menurut bahasa juga berarti yang telah tersebar atau tersiar. Jadi, menurut istilah ilmu hadits masyhur dan hadits mustafid itu sama-sama berarti hadits yang sudah tersebar atau tersiar.
Dalam pengertian istilah ilmu hadits, keduanya diberi batasan, yang sama, yaitu:
Hadits masyhur (hadits mustafid) adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga rawi atau lebih, dan belum mencapai derajat mutawatir.
Contoh hadits masyhur (hadits mustafid):
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص م : اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ. (رواه البخارى ومسلم والترمذى)
Artinya:
“Rasulullah SAW. bersabda: “Seorang muslim adalah kaum muslimin yang tidak terganggu oleh lidah dan tangannya”. (HR. Bukhari muslim, dan Tirmidzi)
Menurut ulama ushul
Hadits yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak sampai ukuran bilang mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan demikian pula setelah mereka. Ada juga yang mendefinisikan hadits masyhur secara ringkas, yaitu Hadits yang mempunyai jalan yang terhingga, tetapi lebih dua jalan dan tidak sampai kepada batas hadits yang mutawatir.
Hadits ini dinamakan masyhur karena telah tersebar luas dikalangan masyarakat. Ada ulama yang memasukkan hadits masyhur “Segala hadits yang populer dalam masyarakat, sekalipun tidak mempunyai sanad sama sekali, baik berstatus sahih atau dha’if.” Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa hadits masyhur menghasilkan ketenangan hati, dekat kepada keyakinan dan wajib diamalkan, akan tetapi bagi yang menolaknya tidak dikatakan kafir.
Hadits masyhur ini ada yang berstatus sahih, hasan dan dha’if. Yang dimaksud dengan hadits masyhur sahih adalah hadits masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadits sahih, baik pada sanad maupun matanya, seperti hadits Ibnu Umar.
إِذَاجَاءَ أَحَدُكُمْ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ (رواه البخارى)
“Bagi siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jum’at, hendaknya ia mandi”. (HR. Bukhari).
Sedangkan yang dimaksud dengan hadis masyhur hasan adalah hadis masyhur yang memenuhi ketentuan-ketentuan hadis hasan, baik mengenai matannya, seperti sabda Rasulullah SAW.
“Jangan melakukan perbuatan yang berbahaya(bagi diri dan orang lain”.
Adapun yang dimaksud dengan hadis masyhur dhaif adalah hadis masyhur yang tidak mempunyai syarat-syarat hadis shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya, seperti hadis:
طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلَّ مُسْلِمَةٍ
“Menuntut ilmu wajib bagi laki-laki dan perempuan”.
Macam-macam hadis Masyhur
1. Masyhur dikalangan ahli hadis
Seperti yang menerangkan, bahwa Rasulullah SWA. Membaca do’a qunut sesudah ruku’ selama satu bulan penuh.
2.  Masyhur dikalangan ulama hadis
Ulama-ulama lain, dan di kalangan orang umum, seperti:
"Orang Islam (yang sempurna) itu adalah: orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya. (H.R Bukhari- Muslim)
3. Masyhur di kalangan ahli Fiqih, seperti:
“Rasulullah SAW. melarang jual-beli yang didalamnya terdapat tipu daya”.
4. Masyhur di kalangan ahli ushul fiqh, seperti:
“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara, kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya itu benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenaran), dan apabila ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu pahala (pahala ijtihad)”.(H.R. Muslim)
5. Masyhur di kalangan ahli sufi, seperti:
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk dan melalui Aku pun mereka kenal padaKu”.
6.      Masyhur di kalangan ulama-ulama arab
Seperti ungkapan: “Kami (orang-orang Arab) yang paling fasih mengucapkan huruf Dad, sebab kami dari golongan orang Quraisy”. 
7.      dan masih banyak lagi hadis-hadis yang kemasyhurannya hanya dikalangan tertentu, sesuai dengan disiplin ilmu dan bidangnya masing-masing.
2.  Hadis Aziz
Hadis aziz menurut  bahasa berarti yang mulia atau hadis yang kuat atau hadis yang jarang, karena memang hadis aziz itu jarang adanya. Para ulama memberikan batasan sebagai berikut:
“ Hadis aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, kendati dua orang rawi itu pada satu tingkatan saja, dan setelah itu diriwayatkan ole banyak rawi.
Dari batasan diatas, dapat dipahami bahwa bila suatu hadis pada tingkatan pertama diriwayatkan oleh dua orang rawi dan setelah itu diriwayatkan lebih dari dua rawi, maka hadis itu tetap saja dipandang sebagai hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, karena itu termasuk hadis aziz.
Contoh hadis aziz:
قَالَـ رَسُوْلُ اللهِ ص م: نَحْنُ اْلاخِرُوْنَ فِى الدُّنْيَا السَّابِقُوْنَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ (عن حذيفة وأبوهريرة)
Artinya: “Rasulullah SAW, bersabda, “kita adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia) dan yang palinh terdahulu di hari kiamat.” (H.R. Hudzaifah dan Abu Hurairah).
Aziz menurut istilah, antara lain didefinisikan sebagai berikut:
Hadis yang perawinya tidak kurang dua orang dalam semua tabaqat sanad”.
Lebih lanjut definisi tersebut dijelaskan oleh Mahmud Al- Thahhan, bahwa sekalipun dalam sebagian thabaqat terdapat perawinya tiga prang atau lebih, tidak ada masalah, asalkan dari sekian thabaqat terdapat satu thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang. Definisi ini mirip dengan definisi Ibnu Hajar. Ada juga yang mengatakan bahwa ‘aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang perawi.
3Hadis Garib
Hadis garib menurut bahasa berarti hadis yang terpisah atau menyendiri dari yang lain. Para ulama memberikan batasan sebagai berikut:
Hadis garib adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan maupun sanad. Dengan batasan tersebut, maka bila suatu hadis diriwayatkan oleh seorang sahabat nabi pada tingkatan berikutnya diriwayatkan oleh banyak rawi, hadis tersebut dipandang sebegai hadis garib.
Contoh hadis garib:
Artinya :”Dari Umar bin Khatab, katamya aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda ” Sesungguhnya amal perbuatan itu hanya (memperoleh) apa yang diniatkannya.”(HR. Bukhari, Muslim dan lain-lain).
Hadis diatas diriwayatkan oleh banyak imam hadis termasuk Bukhari dan Muslim, namun pada tingkatan pertama hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi, yaitu Umar bin Khattab, dan ada tingatan kedua juga diriwayatkan oleh satu orang tabi’in, yaitu Al-Qamah. Dengan demikian, hadis itu dipandang sebagai hadis yang diriwayatkan oleh satu orang termasuk hadis garib. Hadis mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah SAW. maka tidak demikian halnya hadis ahad. Hadis ahad tidak pasti berasal dari Rasulullah SAW. tetapi diduga (zanni) berasal dari beliau.
Karena hadis ahad itu tidak pasti (gairu qati atau gairu maqthu’) tetapi diduga (zanni) berasal dari Rasulullah SAW, maka kedudukan hadis ahad, sebagai sumber atau sumber ajaran Islam, berada dibawah kedudukan hadis mutawatir. Ini berarti bahwa bila suatu hadis, yang termasuk kelompok hadis ahad bertentangan isinya dengan hadis mutawatir, maka hadis tersebut ditolak, dan dipandang sebagai hadis yang tidak berasal dari Rasulullah SAW.



                                                                



BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat penulis makalah ambil adalah:
1. Hadits mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi yakni yang datang berikutnya atau beriring-iringan yang antara satu dengan yang lain tidak ada jaraknya.
Sedangkan menurut ulama hadits, mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang mustahil menurut adat bahwa mereka bersepakat untuk berbuat dusta lebih jelasnya pengertian hadits mutawatir telah penulis paparkan dalam pembahasan.
2.  Adapun Pembagian hadits mutawatir yaitu:
a.       Mutawatir lafzhi
Adalah suatu hadits yang mutawatir lafaz dan maknanya.
b.      Mutawatir Ma’nawi
Adalah hadits yang maknanya mutawatir, tetapi lafaznya tidak.
c.       Mutawatir Amali
Adalah sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa dia termasuk urusan agama dan telah mutawatir antar umat Islam, bahwa Nabi SAW mengerjakannya menyuruhnya atau selain itu, dan pengertian ini sesuai dengan ta’rif ijma.
3.      Syarat-syarat hadits mutawatir yaitu:
a.       Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
b.      Adanya Jumlah Banyak Pada Seluruh Tingkatan Sanad
c.      Mustahil Bersepakat Bohong
d.    Sandaran Berita Itu Pada Pancaindra
4.      Hadits Ahad adalah hadits yang berasal dari kata ahad berarti satu sedangkan khabar al-wahid adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang.
5.      Menurut istilah ilmu hadits. Hadits ahad berarti hadits yang tidak memenuhi syarat mutawatir.
Adapun pembagian hadits ahad diantaranya adalah:
a.       Hadits masyhur
Masyhur menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah populer.
b.      Hadits Aziz
Hadits aziz menurut bahasa berarti hadits uang mulia atau hadits yang kuat atau hadits yang jarang, karena memang hadits azis itu jarang adanya.
c.       Hadits Garib
Hadits garib menurut bahasa adalah hadits yang terpisah atau menyendiri dari yang lain.
6.      Syarat dari hadits ahad menurut istilah ilmu hadits adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir.

3.2.     Saran
Adapun saran yang penulis makalah harapkan dari para pembaca agar memberikan saran atau masukan-masukan apabila ada kekurangan atau kurang terperincinya paparan pada bab pembahasan salah dan khilaf penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.



Terimakasih telah membaca Klasifikasi Hadits dari Segi Banyak Perawinya semoga bermanfaat.

keywords: Makalah Klasifikasi Hadits dari Segi Banyak Perawinya, Klasifikasi Hadits dari Segi Banyak Perawinya, Hadits dari Segi Banyak Perawinya, Studi Islam Asia Tenggara

1 Response to "Klasifikasi Hadits dari Segi Banyak Perawinya"

- Attitude
- No SARA

Thank you for your comments