Makalah Ikhtilaf Al-Hadits :
Makalah Ikhtilaf Al-Hadits |
Makalah Ikhtilaf Al-Hadits :
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perbedaan adalah sebuah sunnatullah kehidupan.
Setiap orang melihat suatu masalah dari sudut pandang, lalu memberikan
kesimpulan sesuai dengan sudut pandang dan hasil pemikirannya. Hal yang sama
juga terjadi dalam upaya menafsirkan al-Qur’an. Telah menjadi sebuah kenyataan
yang tidak dapat dipungkiri, bahwa ikhtilaf atau perbedaan pandangan dalam menafsirkan
ayat-ayat Allah juga terjadi sejak dahulu.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian Ikhtilaf Al-Hadits ?
2. Macam-macam
Ikhtilaf Al-Hadits ?
3.
Sebab – Sebab Terjadinya Ikhtilaf Al-Hadits
?
4.
Bagaimana Menyikapi Ikhtilaf Al-Hadits
?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
apa itu Ikhtilaf Al-Hadits.
2.
Mengetahui macam-macam Ikhtilaf Al-Hadits.
3.
Mengetahui dan memahami sebab-sebab Ikhtilaf Al-Hadits.
4.
Mampu menyikapi perbedaan dalam Ikhtilaf Al-Hadits
BAB II
ISI
A.
Pengertian
Ikhtilaf
Ikhtilaf
adalah perbedaan metodologi para ulama dalam mengistinbatkan hukum Islam
(pengambilan hukum) dari teks-teks Al-Qur’an dan Al-Hadits Rasulullah s.a.w.
Ikhtilaf tidak selalu identik dengan perselisihan. Ikhtilah adalah perbedaan
yang didasarkan pada Nash Al-Qur’an dan Al-Hadits dalam rangka mencari
kebenaran. Sedangkan perselisihan tidak semuanya didasarkan pada Nash Al-Qur’an
dan Al-Hadits, dan tidak semuanya dalam rangka mencapai kebenaran. Sangat
banyak perselisihan dalam Islam tanpa didasarkan pada nash, tetapi pada hawa
nafsu dan kecendrungan dan keinginan masing-masing.
B.
Macam-macam
Ikhtilaf Al-Hadits
Ikhtilaf (perbedaan)
bisa dibedakan menjadi dua. Pertama, ikhtilaful qulub (perbedaan dan
perselisihan hati) yang termasuk kategori tafarruq (perpecahan) dan oleh
karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir. Dan ini mencakup serta meliputi
semua jenis perbedaan dan perselisihan yang terjadi antar ummat manusia, tanpa
membedakan tingkatan, topik masalah, faktor penyebab, unsur pelaku, dan lain-lain.
Yang jelas jika suatu perselisihan telah memasuki wilayah hati, sehingga
memunculkan rasa kebencian, permusuhan, sikap wala’-bara’, dan
semacamnya, maka berarti itu termasuk tafarruq (perpecahan) yang
tertolak dan tidak ditolerir.
Kedua, ikhtilaful
‘uqul wal afkar (perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran dan
pemahaman), yang masih bisa dibagi lagi menjadi dua:
1.
Ikhtilaf dalam masalah-masalah ushul
(prinsip). Ini jelas termasuk kategori tafarruq atau iftiraq(perpecahan)
dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir. Maka pembahasannya tidak
termasuk dalam materi fiqhul ikhtilaf, melainkan dalam materi aqidah,
yang biasa saya sebut dan istilahkan dengan fiqhul iftiraq (fiqih
perpecahan). Dan perselisihan jenis inilah yang melahirkan kelompok-kelompok
sempalan dan menyimpang di dalam Islam yang biasa dikenal dengan sebutan firaq
daallah (firqah-firqah sesat) dan ahlul bida’ wal ahwaa’ (ahli
bid’ah aqidah dan mengikut hawa nafsu), seperti Khawarij, Rawafidh (Syi’ah),
Qadariyah (Mu’tazilah dan Jabriyah), Jahmiyah, Murji-ah, dan lain-lain.
2.
Ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’
(cabang, non prinsip). Inilah perbedaan dan perselisihan yang secara umum
termasuk kategori ikhtilafut tanawwu’ (perbedaan keragaman) yang
diterima dan ditolerir, selama tidak berubah menjadi perbedaan dan perselisihan
hati. Dan ikhtilaf jenis inilah yang menjadi bahasan utama dalam materi fiqhul
ikhtilaf pada umumnya, dan dalam tulisan ini pada khususnya.
C. Sebab – Sebab
Terjadinya Ikhtilaf
Dapat
disimpulkan dan dikelompokkan kedalam empat sebab utama:
1.
Perbedaan pendapat tentang valid - tidaknya suatu teks
dalil syar’i tertentu sebagai hujjah (tentu saja ini tertuju kepada teks
hadits, yang memang ada yang shahih dan ada yang dha’if, dan tidak tertuju
kepada teks ayat Al-Qur’an, karena seluruh ayat Al-Qur’an disepakati valid,
shahih dan bahkan mutawatir).
2.
Perbedaan pendapat dalam menginterpretasikan teks
dalil syar’i tertentu. Jadi meskipun suatu dalil telah disepakati
keshahihannya, namun potensi perbedaan dan perselisihan tetap saja terbuka
lebar. Dan hal itu disebabkan karena adanya perbedaan dan perselisihan para
ulama dalam memahami, menafsirkan dan menginterpretasikannya, juga dalam
melakukan pemaduan atau pentarjihan antara dalil tersebut dan dalil-dalil lain
yang terkait.
3.
Perbedaan pendapat tentang beberapa kaidah ushul
fiqh dan beberapa dalil (sumber) hukum syar’i (dalam masalah-masalah yang
tidak ada nash-nya) yang memang diperselisihkan di antara para ulama,
seperti qiyas, istihsan, mashalih mursalah, ’urf, saddudz-dzara-i’, syar’u
man qablana, dan lain-lain.
4.
Perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh
perubahan realita kehidupan, situasi, kondisi, tempat, masyarakat, dan
semacamnya. Oleh karenanya, di kalangan para ulama dikenal ungkapan bahwa,
suatu fatwa tentang hukum syar’i tertentu bisa saja berubah karena berubahnya
faktor zaman, tempat dan faktor manusia (masyarakat). Dan sebagai contoh
misalnya, dalam beberapa masalah di madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah
dikenal terdapat qaul qadiim (pendapat lama, yakni saat beliau tinggal
di Baghdad Iraq) dan qaul jadiid (pendapat baru , yakni setelah beliau
tinggal di Kairo Mesir). Begitu pula dalam madzhab Imam Ahmad rahimahullah,
dikenal banyak sekali riwayat-riwayat yang berbeda-beda dari beliau tentang
hukum masalah-masalah tertentu.
D. Bagaimana
Menyikapi Ikhtilaf ?
1.
Membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya
dengan ilmu, iman, amal dan akhlaq secara proporsional. Karena tanpa pemaduan
itu semua, akan sangat sulit sekali bagi seseorang untuk bisa menyikapi setiap
masalah dengan benar, tepat dan proporsional, apalagi jika itu masalah ikhtilaf
atau khilafiyah.
2.
Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan
kepedulian terhadap masalah-masalah besar ummat, daripada perhatian terhadap
masalah-masalah kecil seperti masalah-masalah khilafiyah misalnya. Karena tanpa
sikap dasar seperti itu, biasanya seseorang akan cenderung ghuluw
(berlebih-lebihan) dan tatharruf (ekstrem) dalam menyikapi setiap masalah
khilafiyah yang ada.
3.
Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui dan
menerimanya sebagai bagian dari rahmat Allah bagi ummat. Dan ini adalah salah
satu bagian dari ittibaa’us-salaf (mengikuti ulama salaf), karena memang
begitulah sikap mereka, yang kemudian diikuti dan dilanjutkan oleh para ulama ahlus-sunnah
wal-jama’ah sepanjang sejarah. Dan dalam konteks ini mungkin perlu
diingatkan bahwa, nash (teks) ungkapan yang selama dikenal luas sebagai
hadits, yakni yang berbunyi: Ikhtilafu ummati rahmatu (perselisihan
ummatku adalah rahmat), bukanlah shahih sebagai hadits Nabi shallallahu
’alaihi wasallam. Karenanya bukanlah ”hadits” tersebut yang menjadi dasar
sikap penerimaan ikhtilaf sebagai rahmat bagi ummat itu. Namun dasarnya adalah
warisan sikap dari para ulama salaf dan khalaf yang hampir sepakat dalam
masalah ini. Sampai-sampai ada ulama yang menulis kitab dengan judul: Rahmatul
Ummah Fi-khtilafil Aimmah (Rahmat bagi Ummat dalam perbedaan pendapat para
imam).
4.
Memadukan dalam mewarisi ikhtilaf para ulama
terdahulu dengan sekaligus mewarisi etika dan sikap mereka dalam ber-ikhtilaf.
Sehingga dengan begitu kita bisa memiliki sikap yang tawazun
(proporsional). Sementara selama ini sikap kebanyakan kaum muslimin dalam
masalah-masalah khilafiyah, seringkali lebih dominan timpangnya. Karena
biasanya mereka hanya mewarisi materi-materi khilafiyah para imam terdahulu,
dan tidak sekaligus mewarisi cara, adab dan etika mereka dalam ber-ikhtilaf,
serta dalam menyikapi para mukhalif (kelompok lain yang berbeda madzhab
atau pendapat).
5.
Mengikuti pendapat (ittiba’) ulama dengan
mengetahui dalilnya, atau memilih pendapat yang rajih (kuat) setelah
mengkaji dan membandingkan berdasarkan metodologi (manhaj) ilmiah yang
diakui. Tentu saja ini bagi yang mampu, baik dari kalangan para ulama maupun
para thullaabul-’ilmisy-syar’i (para penuntut ilmu syar’i). Sedangkan
untuk kaum muslimin kebanyakan yang awam, maka batas kemampuan mereka hanyalah
ber-taqlid (mengikuti tanpa tahu dalil) saja pada para imam terpercaya
atau ulama yang diakui kredibelitas dan kapabelitasnya. Yang penting dalam ber-taqlid
pada siapa saja yang dipilih, mereka melakukannya dengan tulus dan ikhlas,
serta tidak berdasarkan hawa nafsu.
6.
Untuk praktek pribadi, dan dalam masalah-masalah yang
bisa bersifat personal individual, maka masing-masing berhak untuk mengikuti
dan memgamalkan pendapat atau madzhab yang rajih (yang kuat) menurut
pilihannya. Meskipun dalam beberapa hal dan kondisi sangat afdhal pula jika ia
memilih sikap yang lebih berhati-hati (ihtiyath) dalam rangka
menghindari ikhtilaf (sesuai dengan kaidah ”al-khuruj minal khilaf
mustahabb” – keluar dari wilayah khilaf adalah sangat dianjurkan).
7.
Sementara itu terhadap orang lain atau dalam hal-hal
yang terkait dengan kemaslahatan umum, sangat diutamakan setiap kita memilih
sikap melonggarkan dan bertoleransi (tausi’ah & tasamuh).
Atau dengan kata lain, jika kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah
khilafiyah yang bersifat personal individual, adalah melaksanakan yang rajih
menurut pilihan masing-masing kita. Maka kaidah dan sikap dasar dalam
masalah-masalah khilafiyah yang bersifat kebersamaan, kemasyarakatan,
kejamaahan dan keummatan, adalah dengan mengedepankan sikap toleransi dan
kompromi, termasuk sampai pada tahap kesiapan untuk mengikuti dan melaksanakan
pendapat atau madzhab lain yang marjuh (yang lemah) sekalipun menurut
kita.
8.
Menghindari sikap ghuluw (berlebih-lebihan)
atau tatharruf (ekstrem), misalnya dengan memiliki sikap mutlak-mutlakan
atau menang-menangan dalam masalah-masalah furu’ khilafiyah
ijtihadiyah. Karena itu adalah sikap yang tidak logis, tidak islami, tidak
syar’i dan tentu sekaligus tidak salafi (tidak sesuai dengan manhaj dan
sikap para ulama salaf)!
9.
Tetap mengutamakan dan mengedepankan masalah-masalah
prinsip yang telah disepakati atas masalah-masalah furu’ yang
diperselisihkan. Atau dengan kata lain, kita wajib selalu mengutamakan dan
mendahulukan masalah-masalah ijma’ atas masalah-masalah khilafiyah.
10. Tidak
menerapkan prinsip atau kaidah wala’ dan bara’ dalam bersikap
terhadap fenomena ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’
ijtihadiyah. Karena bab wala’ dan bara’ bukanlah di sini
tempatnya, melainkan di dalam masalah-masalah aqidah, tauhid dan keimanan, atau
dalam masalah-masalah ushul (prinsip) pada umumnya.
11. Menjadikan
masalah-masalah ushul (prinsip) yang disepakati (masalah-masalah ijma’)
– dan bukan masalah-masalah furu’ ijtihadiyah (masalah-masalah
khilafiyah) – sebagai standar dan parameter komitmen dan keistiqamahan seorang
muslim. Jadi tidak dibenarkan misalnya kita menilai seseorang itu istiqamah
atau tidak dan komit atau tidak, berdasarkan standar masalah-masalah
khilafiyah. Sehingga misalnya akan dinilai istiqamah dan komit jika ia
mengikuti madzhab atau pendapat tertentu, sementara akan dinilai tidak
istiqamah dan tidak komit jika menganut madzhab atau pendapat yang lain. Begitu
pula misalnya akan dinilai istiqamah dan komit jika ia selalu berpegang teguh
melaksanakan pendapat dan madzhab pilihannya serta tidak mau berubah sama
sekali dalam kondisi apapaun. Sedangkan jika ia dalam kondisi-kondisi tertentu
bertoleransi dan berkompromi dengan pendapat dan madzhab lain, maka akan
dinilai sebagai orang plin-plan, tidak berpendirian, dan tidak istiqamah
(?). Tidak. Itu semua tidak benar. Bahkan yang benar adalah bahwa, siapapun
yang menjalankan ajaran Islam sesuai standar batasan prinsip, maka ia adalah
orang Islam yang istiqamah dan komit, apapun madzhab atau pendapat di antara
madzhab-madzhab atau pendapat-pendapat ulama mu’tabar, yang diikuti dan
dianutnya. Dan demikian pula sikap bertoleransi dan berkompromi sesuai kaidah
dalam masalah-masalah khilafiyah ijtihadiyah adalah merupakan bagian
dari bentuk dan bukti komitmen dan keistiqamahan itu sendiri!
12. Menjaga agar
ikhtilaf (perbedaan) dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah
tetap berada di wilayah wacana pemikiran dan wawasan keilmuan, dan tidak masuk
ke wilayah hati, sehingga berubah mejadi perselisihan perpecahan (ikhtilafut-
tafarruq), yang akan merusak ukhuwah dan melemahkan tsiqoh (rasa
kepercayaan) di antara sesama kaum mukminin.
13. Menyikapi
orang lain, kelompok lain atau penganut nadzhab lain sesuai kaidah berikut ini: Perlakukan dan sikapilah orang lain, kelompok lain dan
penganut madzhab lain sebagaimana engkau, kelompok dan madzhabmu ingin
diperlakukan dan disikapi! Serta janganlah memperlakukan dan menyikapi orang
lain, kelompok lain dan pengikut madzhab lain dengan perlakuan dan penyikapan
yang tidak engkau inginkan dan tidak engkau sukai untuk dirimu, kelompokmu atau
madzhabmu!
Terimakasih telah membaca Makalah Ikhtilaf Al-Hadits semoga bermanfaat.
keywords: Makalah Ikhtilaf Al-Hadits, Ikhtilaf Al-Hadits, Studi Islam Asia Tenggara
thanks sharing makalahny...
ReplyDeleteyah ga pertamax, tetapi sangat-sangat bermanfaat untuk menambah ilmu :D hehe
ReplyDelete